LAPORAN IMIAH
REVOLUSI MENTAL UNTUK INDONESIA
Guru Pengampu : Hudlori, M. Pd.
Oleh :
Nama : Richa Meiliyana Rachmawati
Nomor : 28
Kelas : XII AP 3
SMK Negeri 1 Kudus
Jalan Ganesha II Purwosari Telp./Fax. (0291) 437367 Kudus 59316
Website: http://smkn1kudus.sch.id/ E-mail: info@smkn1kudus.sch.id
Tahun 2015
MOTTO
1. Berubahlah untuk Indonesia.
2. Revolusi mental menuju Indonesia hebat.
3. Revolusi mental menuju kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan berkepribadian dalam budaya.
4. Kembalilah ke karakter yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, dan identitas kita.
5. Kejujuran dan tanggung jawab awal untuk Indonesia yang kita cita-citakan.
Laporan ilmiah ini saya persembahkan kepada Bapak Hudlori untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Saya juga mempersembahkan laporan ilmiah ini untuk kedua orang tua saya, yang mendukung saya baik secara material maupun non material.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun laporan ilmiah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam laporan ilmiah ini dibahas mengenai revolusi mental yang menjadi suatu keharusan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Laporan ilmiah ini dibuat dengan berbagai bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan laporan ilmiah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan imiah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada laporan ilmiah ini. Oleh karena itu, saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan laporan ilmiah ini.
Akhir kata semoga laporan ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Kudus, 22 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Identitas Masalah
1.3
Pembatasan Masalah
1.4
Rumusan Masalah
1.5
Tujuan dan Manfaat
BAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB III METODE
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Makna Revolusi Mental
4.2 Pembidikan Revolusi Mental
4.3 Tujuan Revolusi Mental
4.4 Jalan untuk Revolusi Mental
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
5.2
Saran
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
http://indoprogress.com/2014/09/revolusi-mental-dalam-pendidikan/
Kata kunci : revolusi mental dalam pendidikan.
Revolusi mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Pendidikan formal melalui sekolah dapat menjadi lokus untuk memulai revolusi mental ini. pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara (citizenship). Proses pedagogis membuat etos warga negara ini ‘menubuh’8 atau dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif (discursive knowlegde) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan keutaamaan (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis. Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa yang hebat, bangsa yang diakui , dan bangsa yang bermartabat adalah sebuah bangsa yang memiliki karakter. Karakter sebuah bangsa adalah ciri khas yang akan menjadi perfoam tersendiri bagi bangsa bangsa lain. Berbicara masalah karakter bagaimana karakter bangsa Indonesia ini, bangsa yang telah lahir yang jelas jelas memiliki karakter sehingga bangsa Indonesia sudah diakui dunia sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun, pada saat ini banyak sekali mental-mental aparatur bangsa dan masyarakat yang sangat jauh dari jiwa pancasila dan undang-undang. Sebagai contoh, kalau pada masa orde baru, praktik korupsi dan kolusi hanya terjadi di lingkaran dalam kekuasaan eksekutif dan di tingkat pusat, kini di Orde Reformasi, praktik haram tersebut merembet ke legislatif dan yudikatif, bahkan meluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Intoleransi pun semakin marak. Kaum minoritas tak lagi mendapat perlindungan yang memadai serta menjadi sasaran tindak kekerasan kelompok-kelompok intoleran, serta sebagian warga negara tak leluasa beribadat sesuai ajaran agamanya. Keserakahan pun menjadi-jadi, sehingga jurang antara orang kaya dan miskin semakin lebar.
Di samping penegakan hukum yang masih lemah, penyelewengan tersebut juga terjadi karena sejak lama anak didik di sekolah dan mahasiswa hanya mendapat transfer pengetahuan, tanpa penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kehidupan. Para guru dan dosen hanya mentransfer ilmu, tetapi kurang menanamkan nilai-nilai moral. Kondisi tersebut diperparah oleh orangtua yang sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tak memiliki waktu cukup untuk mendidik anak-anak di rumah. Akibatnya, ketika bekerja dan bermasyarakat, mereka menjadi individu yang korup, intoleran, dan serakah.
Bangsa Indonesia harus berbenah. Bangsa Indonesia harus kembali pada jati diri yang dulu pernah jaya dimata dunia, bangsa yang bermartabat, bangsa yang memiliki ciri khas tersendiri dari bangsa lainnya sesuai dengan harapan bersama, dan kembali pada karakter bangsa yang telah terlahir di setiap masing masing masyarakat Indonesia. Revolusi mental harus menjadi senjata bahwasanya dengan revolusi mental dengan jiwa individu, jiwa perorangan manusia Indonesia untuk membangun dan membentuk mental individu pada segala bidang yang ada mampu mengembalikan jati diri bangsa menjadi bangsa yang berkarakter, bangsa yang bermartabat dan bangsa yang jaya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah makna revolusi mental itu?
1.2.2 Apa yang akan dibidik dari revolusi mental?
1.2.3 Apakah tujuan dari revolusi mental?
1.2.4 Bagaimana jalan untuk menuju revolusi mental?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui tentang revolusi mental yang harus menjadi suatu keharusan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.3.2 Untuk menumbuhkan kembali pembangunan karakter bangsa.
2.1.Definisi Revolusi Mental
Definisi revolusi mental sangat beragam.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Itulah revolusi mental. (http://www.sesawi.net/2014/06/16/memahami-arti-revolusi-mental/)
Revolusi Mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. (http://sp.beritasatu.com/home/guru-dan-revolusi-mental/68375)
Revolusi Mental Adalah Kembali pada Jati Diri Bangsa. (http://tebuireng.org/revolusi-mental-adalah-kembali-pada-jati-diri-bangsa/)
2.1.2 Persepsi terhadap Revolusi Mental
Revolusi tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang kita serang. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dia maksudkan itu adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. (http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental)
Ada tiga peran pemuda dalam memperjuangkan bangsa ini. Pertama, pemuda memiliki kekuatan moral, dari segi jumlah dan idealisme.( http://tebuireng.org/revolusi-mental-adalah-kembali-pada-jati-diri-bangsa/)
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan metode kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.1 Teknik Pengamatan Langsung
Pada teknik ini penulis terjun langsung meneliti ke lapangan untuk mengetahui bagaimana perkembangan karakter masyarakat Indonesia saat ini, bagaimana tentang revolusi mental yang menjadi strategi untuk menumbuhkan karakter bangsa sehingga akan membentuk Indonesia yang selama ini kita cita-citakan.
3.2 Studi Pustaka
Pada metode ini, penulis membaca buku-buku dan tulisan yang berhubungan dengan penulisan karya ilmiah serta yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup dan perilaku remaja.
4.1 Makna Revolusi Mental
Revolusi mental banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah mental adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, misalnya: mentalitas zaman. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda dunia.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mentalpun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah mentalita untuk menggambarkan dan juga mengkritik mentalitas zaman. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dan sebagainya. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dan sebagainya.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dan sebagainya. Padahal kesadaran moral atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus. Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara mental pelaku dan struktur sosial terjembatani dengan memahami kebudayaan (culture) sebagai pola cara berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara struktur sebagai kondisi material/ fisik/ sosial dan kebudayaan sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir-butir di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur, kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.
Revolusi Mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan sehari-hari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu sebagaimana demokrasi sebagai suatu proses transformasi mental secara terus-menerus dengan bertumpu pada penghargaan terhadap persamaan hak, pluralisme, serta kebebasan menyampaikan aspirasi.
Melihat latar belakang demikian jelaslah bahwa konsep revolusi mental merupakan gerakan moral untuk memperbaiki kehidupan berbangsa berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Revolusi mental dalam artian yang mendasar untuk bangsa ini adalah kembali pada pembangunan karakter bangsa , yang mana pada saat ini banyak sekali mental mental aparatur bangsa dan masyarakat yang sangat jauh dari jiwa pancasila dan undang-undang, dan dapat kita lihat saat ini bahwa bangsa Indonesia harus kembali pada jati diri yang dulu pernah jaya dimata dunia. Bangsa yang bermartabat, bangsa yang memiliki ciri khas tersendiri dari bangsa lainnya. Jika jokowi mengungkapkan revolusi mental menjadi salah satu solusi untuk membangun bangsa ini, artinya dengan revolusi mental bangsa Indonesia mampu kembali pada puncak kejayaannya, sesuai dengan harapan bersama, revolusi mental dalam pendidikan, ekonomi, hokum keagamaan, akan menjadikan manusia kembali kepada hakikat yang sebenarnya yang kemudian ini kembali pada karakter bangsa yang telah terlahir di setiap masing masing masyarakat Indonesia.
4.2 Pembidikan Revolusi Mental
Apa yang akan dibidik oleh revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship).
Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini menubuh. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan revolusi mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan: (a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik? (b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran. Jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dan lain-lain. Jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab.
Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
4.3 Tujuan dari Revolusi Mental
Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Namun sepertinya bangsa ini sudah kehilangan karakter aslinya. Perubahan karakter bangsa tersebut merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Untuk itu perlu adanya revolusi mental. Revolusi mental yang dimaksud adalah kembali pada karakter asli bangsa Indonesia. Jadi, tujuan utama dari revolusi mental itu adalah untuk Indonesia menjadi sejahtera, untuk Indonesia yang lebih jaya dari pada saat ini. Kita harus berubah demi Indonesia. Korupsi harus diberantas, etos kerja harus ditingkatkan, birokrasi harus diperbaiki, kedisiplinan harus tetap ditegakkan, dan yang terpenting adalah kejujuran harus tetap menjadi karakter kita.
4.4 Jalan untuk Menuju Revolusi Mental
Revolusi tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang kita serang. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dia maksudkan itu adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
Ada tiga peran pemuda dalam memperjuangkan bangsa ini. Pertama, pemuda memiliki kekuatan moral, dari segi jumlah dan idealisme. Dari 200 juta rakyat Indonesia, 60 juta di antaranya ialah pemuda. Mereka akan menjadi bibit bangsa. Kedua, sebagai kontrol sosial dan penyeimbang kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ketiga, sebagai agen perubahan yang sudah terbukti sejak dulu bahwa pemuda mampu melakukan perubahan, seperti tahun 1945 atau 1998.
Revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan secara simultan berjalan di bidang-bidang lainnya. Mengapa dunia pendidikan? Setidaknya 18 tahun waktu anak manusia dihabiskan di bangku pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan menjadi rumah kedua untuk menempa anak-anak menjadi manusia dewasa yang bermartabat. Sayangnya, pendidikan yang dijalani selama ini belum sepenuhnya melahirkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Akibatnya, sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berbangsa masih terjadi hingga saat ini, bahkan cenderung semakin parah.
Setidaknya ada beberapa aspek yang harus diperhatikan agar guru benar-benar bisa menjadi lokomotif perbaikan bangsa melalui gerakan revolusi mental. Antara lain: pelatihan guru dan penyebaran guru yang lebih merata. Ketimpangan penyebaran guru di Indonesia harus segera diatasi agar revolusi mental tak hanya berlangsung di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa, karena setiap kelas bisa diasuh minimal satu guru.
Pendidikan formal melalui sekolah dapat menjadi lokus untuk memulai revolusi mental ini. Pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara (citizenship). Proses pedagogis membuat etos warga negara ini menubuh atau dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif (discursive knowlegde) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan keutaamaan (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis. Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Intinya seorang guru harus mampu mendidik siswa-siswanya untuk menjadi siswa yang baik. Seorang guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan saja, namun seorang guru harus mampu mengajarkan tentang karakter yang baik, seperti: kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, dan lain-lain. Karena kualitas hidup kita harus diimbangi oleh karakter dan kompetensi. Kompetensi tanpa karakter akan rusak, dan karakter tanpa kompetensi akan pincang. Percuma jika seandainya seorang guru hanya mampu mengajarkan pengetahuan saja. Siswa tersebut memang pintar namun kita tidak tahu bagaimana karakternya. Bagaimana jika seandainya siswa tersebut menggunakan ilmunnya untuk hal-hal yang buruk, seperti korupsi. Karakter dan kompetensi harus seimbang.
Kita tahu, bangsa ini memiliki sekitar 60 juta generasi muda. Hidup bangsa ini bergantung pada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka akan menjadi bibit-bibit bangsa . Untuk Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental adalah transformasi etos yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari dan kembali kepada karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Kesejahteraan Indonesia bergantung kepada generasi muda Indonesia.
4.2 Saran
Indonesia harus berubah saat ini juga. Kita harus merubah karakter kita menjadi lebih baik. Kita harus kembali ke jati diri bangsa. Kita harus maju.
Guru harus menjadi lokomotif perbaikan bangsa melalui revolusi mental. Karena hidup Indonesia bergantung kepada generasi muda Indonesia. Guru harus mampu mengajarkan kompetensi sekaligus karakter. Karena kompetensi tanpa karakter akan rusak, dan karakter tanpa kompetensi akan pincang. Sehingga generasi muda akan memilki kompetensi yang tinggi dan karakter yang baik.
Kita bisa membayangkan sendiri seandainya generasi muda tidak memiliki karakter, seperti tidak jujur, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab. Kader-kader bangsa yang menjadi harapan bangsa tersebut akan berbuat korupsi, mereka akan menjadi menyalahgunakan jabatannya. Akan jadi seperti bangsa ini? Untuk itu guru harus mampu mendidik generasi muda Indonesia menjadi kader-kader bangsa yang berkompetensi tinggi dan berkarakter. Indonesia harus sejahtera. Indonesia harus maju.
DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental
http://sp.beritasatu.com/home/guru-dan-revolusi-mental/68375
http://tebuireng.org/revolusi-mental-adalah-kembali-pada-jati-diri-bangsa/
http://www.beritaasatu.com/opini/revolusi-mental-kembalikan-karakter-bangsa
http://www.sesawi.net/2014/06/16/memahami-arti-revolusi-mental/